Selasa, 01 April 2014

aku tidak pernah gagal

long time no see u hikaru, i almost forget ur email n password. since i'm vacuum from my novel. i almost dont have anytime for seeing u. u know, now my life is really different, this is ridiculous.
but, k menemukan banyak kata2 yang mungkin terselip dalam setiap takdir hidupku. kaat2 yag mungkin cuma aku yang mengerti, kali ini, tulisanku tanpa tema, dan ga jelas.

aku ingin seperti dulu, ingin kembali ke masa-masa jayaku. ingin menjadi yang mereka cari-cari lagi, karna trnyata rasanya cukup meynangkan, become famous of something good. its good of course.
aku mencoba mengulang masa jayaku disini, di kota yang jauh dari tempatku yang dulu,
tapi sejauh ini hasilnya mungkin baru 10%, aku merasa seperti negaraku ini. negara yang sembunyi dibalik kehebatan dan kejayaan masa lalu. ya itulah aku, mereka memandangku melalui kejayaan masa lalu. tapi apa aku sekarang?

beberapa kegagalan baru sudah aku leWati skarang, PKMP, IFT, ..., ...., #cuma 2 ternyata
tapi yang 2 itu semua membuatku ragu akan langkah2 selanjutnya yang telah aku planning dalam hidupku...akankah mnjadi begitu atau bgini atau bagaimana. meskipun masa lalu juga penuh dengan kegagalan, tpi aku merasa egois di sini, aknkah aku bertahan di anak tangga ini, ataukah anak tangga ini sudah anak tangga yang paling atas? tapi kenapa tak ada apa2 di depan ank tangga ini. ataukah aku tergelincir menuju anak tagga yang bawah. tidak bisa dipungkiri berjaya itu membungahkan hati. dan aku ingin mengulangnya. aku mau pimnas emas, aku mau pertukaran pelajar. Astaghfirullah, aku ini trlalu ambisius, jangan jangan kejayaan masa lalu telah membuat aku sombong terhadap diriku sndiri, tapi ksombongan itu bukan membuatku meremehkan tapi membuatku berusaha keras mengulang kejayaan yang lalu dan jika tidk tercapai, rasanya menakutkan...  aku tidak bisa mengatakan tapi gagal dalam hal yang sama setelah prnah berhasil itu jauh lebih sakit daripad belum pernah berhasil sama sekali untuk hal yang telah dicoba berkali2.

tapi bukan berarti aku hanya ingin mencoba. but what is success? what is berhasil. u absolutely say, berhasil adalah bisa mencapai dan meraih hasil akhir dari apa yang kita upayakan.
misalnya aku adalah A dan aku ingin mlompat meraih R, tapi ternyata aku hanya bisa melompat hingga ke L, dan selebihnya aku harus merangkak ke R. aku terluka dengan kegagaln itu. tapi tentu aku tidak bisa diam di L jika yang aku inginkan adalah R. dengan merangkak aku menuju R, melewati M, N, O, P, Q,...
tapi ktika akku telah sampai di O, O memasukkan aku ke dalm tubuhnya yang bulat lalu menerbangkan aku seperti glembung sabun  hingga akhirnya aku sampai di T, dimana R telah terlewati. di T ternyata aku ditendang hingga ke V. padahal aku hanya menginginkan R dan begitu sakit ketika hanya mampu mendapatkan L.
but see, aku gagal menuju R tapi karna si L aku bisa mendapatkan yang lebih jauh dari R yaitu T dan V. seuatatu yang lebih tinggi dari R, sesuatu yang bahkan tidak berani aku impikan. apakah itu berarti aku gagal?
mungkin memang gagal, tapi aku juga berhasil. maka aku simpulkan bahwa aku tidak pernah gagl dalam hidupku, karna disetip kegagalan yang aku lewati aku bisa meraih keberhasilan lain.
so, berhasil itu bukan brarti tidak gagal dan gagal bukan brarti tdak berhasil. ketika kita gagal. kita mendpatkan keberhasilan lain yang jauh lebih baik, baik itu bisa jadi baik menurut kita ataupun baik menurut Allah saja, we dont know, yg harus kita lakukan adalah memandang itu sbg suatu hal yang baik, itu saja.dan kberhasilan yang lebih baik itu tadi terjadi karena kita sebelumnya gagal ( T dan V bisa terjadi karna ada L). coba bayangkan jika aku sudah mencapai R, aku akan diam di R dan merasa puas. dan mungkin tidak akan mendapatkan lebih dari R.
just find it, berhasil itu selalu menyertai kita, jika dan hanya jika kita bisa melihat bahwa kita berhasil di sisi yang lain, bukannya fokus pada kegagalan.
hope better next time. start from no. lets move!!

Selasa, 02 Juli 2013

Kuntet dan Kupret Akan Selalu Ada

Pret, gue mau ke rumah lo, lo belum tidur kan? Bentar aja, mau ngomong sesuatu… tapi lo yang keluar ya nanti, gue keburu…
Kukirim pesan melalui handphone jadul-ku, kucari namamu di kontak telepon : ‘Kupret Pren Baek Aku’. Hahaha, yap, aku suka memberi nama panjang di kontak HP-ku. Apalagi untuk sahabat yang selayaknya dirimu.
Iya, belum. Sini aja. Nanti kalau udah di depan sms aja…
Kau membalasnya.
***
Dan lagi. Kurasai setiap detik yang spesial ketika bersamamu. Seperti malam ini, di bawah sinar lampu jalan yang silau. Berpayungkan langit hitam menawan. Serupa Eboni yang menyuguhkan kelam tegas elegan. Kulihat sejenak kau menengadah, ah… kau pasti mengharap langit kali ini menggembala bintang dan bulan layaknya malam-malam lalu, untuk menambah eksotisme kebersamaan kita. Raut wajahmu tak berubah saat kau tak dapati bintang-bintang itu.  Bintang hanya berupa noktah kecil yang mungkin telah berusaha setengah mati untuk menampakkan diri. Dan bulan bersembunyi, kau tahu purnama baru saja usai, kau memaklumi bahwa bulan perlu istirahat dari sinar emasnya.
Dan sejenak sebelum kemunculanmu. Aku menunggu. Di sini. Di pojok portal yang memisahkan motorku dengan rumahmu. Kurasai angin dingin menyeruak celah-celah sempit diantara kain yang melindungi tubuhku, merasuk menggamit tulangku yang bergemeletuk menahan pegal. Kau tak tahu betapa aku berjuang mencapai rumahmu. Hari telah larut, semua portal telah ditutup. Setengah jam aku berputar-putar mencari celah untuk menemuimu segera. Aku terburu, aku tahu terburu itu tak baik, tapi aku tak dapat menahan keterburuanku untuk menemuimu. Aku berputar-putar tak ubahnya kelelawar malam mencari makan. Dengan perasaan khawatir, karena bensin di motorku tak mungkin bertahan hingga jauh. Dan betapa leganya setelah kutemukan celah tanpa portal untuk menuju rumahmu. Dengan lega aku tiba, memintamu untuk menemuiku di ujung jalan ini, karena motorku tak mampu melompati portal terakhir lorong rumahmu.
Sembari menantimu keluar. Aku telah siapkan sebuah kotak dan sebuah roll tart kecil yang baru saja aku beli dengan harga murah. Aku sedang berhemat, kau tahu. Sekilas, kudengar langit bicara, lekaslah! aku akan menggelapkan diriku semakin gelap, jangan kau tenggelam terlalu larut, karena aku bisa menelanmu dalam gelap malamku. Dan kudapati lorong ini sepi sungguh. Hanya kucing liar yang berkuasa atas tong sampah, hewan terbang malam serupa kelelawar yang berputar-putar, serta suara serangga malam yang bernyanyi mengantarku.
Kau keluar, kusiapkan kotak kado dan roll tart.
“Tet?”, kau memanggilku yang sedang bersembunyi di balik tembok pembatas jalan. Tak kau tahu, aku sedang bersiap menyodorkan kotak kado dan roll tart-ku.
Kau berjalan semakin dekat, melongok mencariku. Hendak kuucapkan ‘Happy Birthday Kupret’ dengan heboh, tapi… argh… aku hanya sanggup menyungging senyum. Senyumku selebar-lebarnya. Tanganku lurus ke depan menyerahkan kotak kado dan roll tart mungilku padamu. Kau menutup mulutmu, kulihat ada segenggam gejolak pada sirat wajahmu, bola matamu berkilau oleh air. Tapi kau menahannya, tak menumpahkan air itu.
Aku mencoba membuka mulutku, hendak berucap selamat, tapi aku tak mampu. Sudah tak mampu. Jika aku berani mangap  se-centi  saja, aku tahu bukan suara girangku yang keluar, melainkan air mataku yang pecah menjadi buliran serupa pulp  buah jeruk bali.
“Kunteet”, kau masih menutup mulutmu, tanda kaget, atau haru, atau apalah tak kutahu, yang jelas tak pernah ada persangkaanmu bahwa aku datang menemuimu hanya untuk sebuah kue dan kado.  Kutebak kau haru. “Kuntet jangan bikin aku nangis lagi, aku udah nangis seharian”
Aku mulai mampu mengeluarkan suara, “kenapa nangis seharian?”
“Tadi ada perpisahan juga sama temen-temen asrama”
Aku tersenyum. Aku tahu ini adalah hari terakhirmu tinggal di asrama, sebelum kau berangkat ke Flores untuk KKN PPM.  Dan karena itulah aku tak mau melewatkan malam ini tanpamu. Kau berangkat esok pagi, dan kembali di bulan depan. Padahal beberapa minggu lagi aku sudah harus meninggalkan tanah Ngayogyakarta Hadiningrat, untuk melanjutkan studi-ku di Sorbone. Aku bersiaga jika mungkin ini pertemuan terakhir kita untuk selamanya. Karena itu aku datang untukmu. Sungguh tanpa ingin menangis. Tapi detik ini pecahlah tangisku, meski ku tahan.
Kau menggamit pundakku, menarikku, dan memelukku erat. Aku pun begitu. Bulir telaga di mata kita telah mengamuk ingin di keluarkan. Aku tetap berusaha mencegahnya. Sedikit aku malu untuk menangis, entah menangisimu atau menangisiku. Kau pun mungkin telah lelah menangis.
Pelukanmu begitu lama. Kita erat, tak kuasa tubuh kita saling bergerak. Seperti akar-akar bakau menjalari seluruh ototku. Pelan bunga sakura berjatuhan di musim semi hatiku. Aku merasai memoriku saat pertama kita bertemu, pelan kuingat, pelan kukecap, pelan kutengok masa lalu, ah sudahlah aku lupa bagaimana kita bertemu. Tapi aku selalu mengingat kejadian setelahnya. Saat kita bertengkar karena tak merasa saling cocok lagi. Saat bagiku aku bosan mendengar curhatmu tentang ini, itu, dan dia. Saat kau merasa aku terlalu kekanakan terhadap masalahku. Kita dikungkung permusuhan beberapa hari. Lalu entah apa yang menyatukan kita lagi, rupanya kita tak sanggup bertengkar lama. Seusai pertengakaran, semakin dalam lubang menganga di hatiku untuk diisi cintamu. Cintamu yang hangat, yang menyadarkanku dari fatamorgana saat aku jatuh cinta pada laki-laki, cintamu yang dingin yang membekukanku saat aku terbakar amarah, cintamu yang bisa berubah sesuai keinginan kita. Hingga kita mampu saling menjaga hidup masing-masing di dunia yang menyeramkan ini.
Pantaslah bulan tak bersapa malam ini, tahu ia rupanya akan keharuan kita. Ia takut akan iri dengan persahabatan kita. Dan kau masih memelukku. Kuingat lagi saat kita tertawa bersama, saat kau mengalungkan lenganmu ke pundakku, saat jemarimu menggamit makananku lalu kita saling berebut. Saat aku sedang sendiri lalu kau menghampiri, saat aku sedang gundah lalu kau datang dengan gagah menawarkan cerah, saat aku sedang memeluk peliknya dilema lalu kau duduk di sampingku menyuguhkan pertolongan yang mengesimakan. Saat tanganku yang kulai kau raih dan kita berlari melintasi jembatan takdir bersama.
Kau melepas pelukanmu, aku pun begitu. “Tet, emang kita nggak  akan ketemu lagi ya Tet?”, tanyamu seraya menahan telaga itu kabur dari pelupuk matamu.
“Semoga someday ya Pret… gue berangkat pas lo KKN Pret”
“Kunteeet… makasih ya Teeet”, kau menggenggam kotak kadoku.
Aku hanya tersenyum. “Eh, foto yuk, mungkin aja the last nih, sebelum gue pergi”
Jeprat jepret jeprat jepret tak ubahnya cover girl  majalah remaja kita berganti-ganti gaya. Sejenak kita memandangi ekspresi bodoh kita yang terabadi di camera digital-mu.
Kau melengkungkan bibirmu ke bawah, “sekarang nggak ada Kuntet sama Kupret lagi deh Tet kalau kita pisah jauh banget”
“Kita akan selalu ada Pret”, aku tersenyum lagi, tak banyak kata yang mampu aku suarakan, meskipun buncahan hatiku mengepul-ngepul minta diledakkan, tapi kepulan itu akhirnya menguap bersama udara.
***
Pesawatku telah tinggal landas kabur dari landasan pacu. Pret, aku sedang duduk di sini memandangi jendela. Kamu di Flores lagi apa? Jendela pesawat basah oleh sedihku. Kulihat pijakan telah jauh. Akankah pesawatku melewati langit tepat di atas tempatmu bernaung? Apakah kau akan melihat pesawat ini? Lalu melambai padaku? Ah, mustahil. Di ujung bumi mana kau berada, dan ke ujung bumi mana aku menuju.

Pret, lo sahabat gue. Lo nggak perlu hadir dalam hari-hari gue atau detik-detik gue yang sekarang gue habisin di negeri orang.
Gue tahu, lo nggak bisa selalu ada buat gue. Tapi it’s ok, cukup gue tahu bahwa lo sayang gue dan gue juga sayang lo. Maka persahabatan kita nggak akan pernah mati.
Gue tahu, gue nggak akan selalu klop sama lo, tapi cukup gue paham bahwa sahabat itu cuma butuh pengertian dan toleransi.
Gue tahu, nggak akan selamanya gue bisa ngelihat wujud lo, mungkin gue yang akan terlempar jauh atau lo yang akan hilang dalam pusaran -seperti sekarang-, tapi cukup gue tahu bahwa gue bisa mengukir nama lo di hati gue selamanya.
Cukup gue simpan perasaan di hati gue, bahwa gue sayang lo. Maka lo akan selalu ada. Dan kita akan selalu ada.
(dan gue tulis ini dengan linangan air mata yang sekuat kemampuan gue tahan)
Pret, lo nggak perlu balas cinta gue jika lo nggak berkenan. Cukup gue punya cinta ini untuk melengkapi gue. Gue bahagia pernah mengenal lo. Dan gue yakin, kita akan selalu ada.

Kuntet

Senyum Dea


Senyumnya lebar. Sangat ceria. Hatinya lembut seperti sutra. Adabnya baik santun ramah dan penyayang. Mudah bergaul namun tetap lembut bersikap. Kulitnya putih cerah menyibak kekusaman dunia. Bibirnya merah muda, selalu tersenyum manis menyambut pahit getir maupun gegap bahagia dunianya. Alis matanya hitam tegas terpisah, membingkai mata yang agak sipit. Air mukanya selalu cerah, meskipun sedih sering menggelayuti hatinya. Namanya Dea. Gadis itu berjilbab rapi, pakaiannya selalu longgar, tak pernah menunjukkan lekuk tubuhnya. Justru itu yang memikatku. Auranya. Inner beauty­-nya. Selalu menginspirasi.
“Irham, boleh pinjem catetannya?”, hatiku berdesir bahagia, saat ia duduk di sampingku.
“Tapi tulisanku jelek De”, ujarku malu-malu.
Nggak apa-apa, aku bisa baca kok”, dia tersenyum. Lebih dari cantik. Tak terkatakan.
Aku menyodorkan catatanku. Dia mencatat dengan tekun. Fokus. Sefokus mataku yang memperhatikannya. Indah. Pualam hidup.
“Eh ini maksudnya apa?”, ia menatapku, aku sudah sedari tadi menatapnya dengan tatapan yang mungkin aneh, langsung aku mengganti isyarat mataku. Lalu mengalihkan pandanganku ke buku catatanku.
“Hehe, aku nulisnya singkat-singkat pakai skema, itu maksudnya dari bahan itu menghasil kan produk sisa ini”, tanganku menunjuk-nunjuk buku catatan, ia memperhatikan, kepala kami sangat dekat. “Nah, produk sisa ini, difiltrasi hasilnya ke sini”, aku tak ingin moment ini berakhir.
“Oh, oke”, dia melanjutkan menulis, aku memperhatikannya lagi. “Aku tadi mau nyatet tapi bingung. Aku nggak  pernah bisa paham sama yang diomongin bapaknya. Aku nggak ngerti deh kalau besok kuis aku bakal gimana”, ia masih terus menulis.
“Mau belajar bareng?”, cerdas. Aku menangkap peluang.
Dia mendongak menatapku. “Emm, mau sih, tapi aku agak lemot mikirnya buat mata kuliah yang satu ini. Takutnya kamu nanti jadi jengkel ngajarin aku nggak bisa-bisa”
Nggak akan”, ujarku jujur.
***
Aku menatapnya lagi. Aku sebisa mungkin memanfaatkan kesempatan untuk mendalami wajahnya saat ia sedang fokus menulis.
“Oke, aku ngerti sekarang”, ia menghela nafas, “haaah… makasih banget ya Ham, aku jadi semangat buat kuis besok”, ia tersenyum.
“Laper nggak?”, terucap spontan dari mulutku.
Ia mendongak, agak kaget. Aku deg-degan  dengan ekspresinya itu, aduh salah ngomong. Lalu ia tersenyum, “banget!”, katanya seraya mengangguk mantab.
Hari telah meredup. Kami berjalan di lorong sempit, menuju warung batagor di ujung gang.
“Kamu di kelas cuma tidur dan ngelamun. Kok kamu bisa paham semua yang diajarin di kelas sih?”
“Haha, nggak tahu”, aku tersenyum, “itu warungnya, cuma warung tenda kecil gitu, nggak pa-pa?”
“Hahaha, ngaak pa-pa lah… aku biasa kok makan dimana aja”
“Hahaha, kirain kan biasanya makan di tempat mahal”
Kami menenteng sepiring batagor dan segelas es jeruk. Kami membawanya ke tengah taman kompleks, dibawah sinar lampu taman yang agak remang-remang.
“Eh!”, tiba-tiba Dea bersuara di tengah gigitan pertamanya, “enak banget!”
“Ha?”
“Iya, beneran deh, nggak  pernah aku makan batagor yang seenak ini”
“Hahaha, lebay
“Beneran asli”
Kami menghabiskan batagor itu dengan kilat, doyan dan lapar.
“Ini pertama kalinya aku ngehabisin makananku, hehehe”, ia terkekeh.
“Ha?”
“Iya, karena ini enak banget, padahal biasanya aku udah nyerah di suapan ke tujuh atau ke sepuluh deh maksimal”
“Padahal kamu kalo nyuap dikit-dikit gitu”
“Iya, aku beneran susah banget buat nelan, mual, hehe”
“Punya maagh?”
“Kok tahu?”
“Kan katanya tadi mual”
“Hehehe, iya, nggak cuma maagh, macem-macem aku sakitnya”
“Eh? Apa aja?”
“Ah udah deh, nggak usah bahas yang  nggak  menyenangkan ya sekarang, hehehe”, ia tersenyum manis sekali.
“Tapi nggak bahaya kan?”
Ia hanya tersenyum.
Keesokan harinya ia berlari menghampiriku yang sedang stress di depan laptop di gazebo halaman kampus kami. “Yuk aku traktir batagor dekat kompleks kos-mu”, ia tersenyum padaku. Wah, obat stress datang menghampiri, indahnya dunia. Senyumnya selalu membuatku… tak mampu mengingat kesedihan atau pun kepenatan.
“Sekarang?” tanyaku seraya men-shut down laptopku. Ia mengangguk mantap sambil tetap tersenyum. Senangnya aku, aku merasa kami semakin dekat. Tak pernah aku seakrab ini dengan dia.
“Itu warungnya baru buka jam 5 sore De, ini masih jam 3”, ujarku berharap ia mengajakku ke tempat lain,selain hanya buka malam, batagor itu sudah eneg di lidahku. Bosan.
Raut mukanya berubah ditekuk, ah, aku tak tahan ingin membuatnya tersenyum lagi, tak tahan melihat ia sedih atau kesal. “Kita cari batagor yang lain yuk?”
“Aku nggak terlalu suka batagor sebenernya, tapi batagor yang deket kompleksmu enak banget”
“Oh gitu… mau makan yang lain aja?”
“Kita jalan-jalan dulu aja yuk, sambil nunggu jam 5, ke taman kota, mau nggak? Aku yang traktir naik semua wahana”, ia tersenyum lagi. Parah. Hati dan jantungku tak terkendali, jalan-jalan ke taman kota dengan Dea. Mimpi apa aku. Setahun aku menyimpan perasaanku terhadapnya. Tiba-tiba tanpa effort Dea dekat padaku. Tanpa effort juga aku bisa berjalan-jalan dengan dia ke taman kota, lalu makan batagor di tengah taman kompleks, di bawah sinar bintang dan bulan. Romantis.
“Tapi kamu nggak laper nunggu sampe jam 5?”
“Kamu? udah laper?”
“Belum sih, aku baru aja makan burger”
“Aku juga nggak  terlalu laper kok”, tersenyum lagi. Astaga. Senyumnya. “Gimana? mau nggak  ke taman kota?”
“Mau banget”, aku mengangguk mantab.
kami beranjak, berjalan kaki. taman kota dan kosku tak jauh dari kampus kami.
Sesampainya kami di loket, aku mengeluarkan uang lima puluh ribuan. Dia menghalangi tanganku. Tanganku disentuh olehnya. Membeku bagain patung es. Hatiku berdesir.
“Kan aku yang traktir”, ia tersenyum. terus terus terus memberiku senyum. Senyum yang membuat aku tak bisa melakukan apa-apa.
Kami masuk ke area taman kota, Dea langsung berlari menghampiri bianglala, dan yang aku tak percaya adalah, ia menarik lenganku. Sungguh beruntung.
Kami berada di puncak putaran bianglala. “Eh, aku mau tanya dari tadi lupa terus”, terang saja aku lupa terus, Dea senyum terus, membuatku lupa semuanya, “kamu kenapa traktir aku?”
“Oh.. hehehe”, dia terkekeh, tapi kesan santun tak hilang dari dirinya, “tadi aku bisa ngerjain kuisnya”, ia tersenyum. Tersenyum lagi.
“Oh, wah, selamat ya”
“Berkat kamu”, tersenyum lagi. Tewas aku lama-lama melihat senyumnya.
“Hehe, eh tapi kan, nilainya belum keluar, belum tahu hasilnya”
Nggak  pa-pa, aku udah puas sama hasil kerjaku”, senyumnya tersungging lagi. aku sudah jauh melayang terbang tinggi.
Berjam-jam kami habiskan di taman kota, naik bianglala, komedi putar, makan es krim, foto-foto. Tanpa sadar, malam telah bergaung sejak satu jam yang lalu. kami mulai kelaparan. Dan tak ada tujuan kami yang lain selain warung batagor dekat kompleksku. Warung batagor yang membosankan bagiku, tapi akan indah dan lezat jika kulalui bersama Dea.
“Makasih ya udah mau jadi sahabat aku”, katanya tiba-tiba, di bawah lampu sinar lampu taman kompleksku. Batagornya sudah ludes.
Aku tersenyum, membalas senyum indahnya.
***
Pagi ini aku lalui dengan semangat membara. Aku telah menyiapkan sekotak cokelat dan sebuah kalung untuk Dea. Target hari ini : pacaran dengan Dea. Aku mencintai Dea, sangat. Aku berjingkat ke kampus, berjalan kakai dengan bersiul. Memasuki gerbang kampus dengan bahagia, memasuki ruang kelas dengan sumringah, menyapukan mata ke seluruh ruang kelas. Tak ada Dea. Mungkin Dea telat.
Aku duduk di bangku belakang, berharap bisa merekam kedatangan Dea, dan mendeteksi lokasi duduknya Dea. Dosen kami yang menyebalkan memasuki ruangan. Berkoar-koar entah apa di depan kelas, dan aku tak memedulikannya.  Berlangsung sekian lama, dan akhirnya selesai seiring bangunnya aku dari tidurku di kursi belakang. Lagi aku menyapukan pandangan, Dea tak ada.
Seharian aku lalui dengan hambar, aku lalu lalang di kampus sendirian. Makan di kampus sendirian, ke perpustakaan sendirian, ke gazebo sendirian, kamana pun sendirian. Mataku masih berkeliling mencari Dea. Dea tak muncul juga. Hari ini dia tidak masuk. Baiklah senjata penembakanku akan kusimpan sampai besok.
***
Sudah seminggu, Dea tidak masuk. Aku sebenarnya tidak terlalu bertanya-tanya, karena Dea sering sekali moody dalam masuk kuliah. Dia sering tidak masuk tiga hari, empat hari, lima hari, dan sekarang sudah seminggu. Cokelatku sudah leleh. Kemana Dea sebenarnya, aku tak tahan untuk menghubungi Dea. Sejauh ini aku menahan jariku agar tidak mengirim sms atau pun menelepon dia. Aku tidak boleh terlalu mengganggunya. Selain itu, menghubunginya juga membuatku semakin tidak tahan ingin bertemu dan aku bisa stress kalau tidak kunjung bertemu dengan dia. Walaupun sebenarnya tidak berkomunikasi dengan dia sangat lama akan membuat hatiku galau, gundah, gulana.
‘Dea, lama banget nggak masuk? J ketinggalan banyak materi lhoh…’ sms itu terkirim dari HP-ku menuju ke nomor Dea.
Aku menunggu balasannya. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Dua puluh empat jam. Empat puluh delapan jam. Dan seterusnya. Dia tidak membalas. Aku ragu, apakah aku harus menelepon.
Tililit tililit tililit tililit,  HP-ku berbunyi. Sms masuk. Kubuka dengan semangat, aku berharap berharap Dea yang mengirim pesan untukku.  Opening new messages, tulisan di HP-ku berputar-putar, lama sekali, membuatku ingin membanting HP ini.
Malina. Teman sekelasku. Bukan Dea. Wajahku murung. Kubuka dengan lemas dan malas.
 Inalillahi wa ina ilaihi roji’un. Telah meninggal sahabat kita Dea Rizkia Nurbiantoro, dikarenakan kanker sumsum tulang belakang, yang ternyata udah diderita selama satu setengah tahun. Meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah, pagi ini jam 2. Jenazah dimakamkan siang ini di rumahnya, kompleks perumahan Gebang Ayu, jalan kepodang nomor 5. Buat temen2 yang mau dateng, kita kumpul di kampus jam 1, jangan lupa bawa kendaraan sendiri2, yang ga punya motor, Ardi n Tia bawa mobil, langsung sms ke yang bersangkutan ya. Tengkyu.
Bagaikan karang raksasa bertepi tajam, menghantam hatiku, sampai luka-luka berdarah. Diiringi dengan guyuran ombak air asin yang menambah perih lukaku yang mendalam. Air mataku pecah. Seiring cintaku yang juga pecah, tinggal kepingan. Cinta yang harus aku kubur dalam-dalam.
Makasih ya udah mau jadi sahabat aku, masih mengiangi telingaku. Senyumnya, masih membayangi mataku. Sentuhan tangannya di lenganku saat ia menggandengku, masih berbekas terasa. Dan foto kami di taman kota, masih terpampang sebagai background desktop laptop dan HP-ku.  Tak lepas mataku memandangi.



Serabi Ngampin

monat on wiskul
Sore ini adalah sore yang sama, saat rintik-rintik air langit menetaskan lagu keharmonisan gradasi warna alam ambarawa. Sore yang sama, saat hawa dingin menyeruak di sela-sela tulang rusuk dan menggigit ujung jemari. Sore yang sama, saat wanginya aroma minyak wangi menyibak bulu-bulu hidungku. Sore yang sama, saat hangatnya serabi santan mengguyur lidah para pelanggan. Sore yang sama, saat aku bersamamu. Di sini. Di warung serabi ngampinku yang sempit.
Kau duduk tanpa suara –seperti biasa-, menikmati kue serabiku dengan penghayatan sedalam samudra hitam. Matamu mengamati setiap celah kelezatan yang menggamit tubuhmu untuk datang kemari lagi, ke warungku. Ya, kau selalu memilih warung serabiku daripada warung serabi lain yang banyak berjajar di daerah ini. Kaulah yang membuat emak-ku senang, karena kau berhasil membuat aku mau menjaga warung serabi Ngampin di sore dan malam hari, sehingga emak bisa beristirahat dan membuat serabi lagi untuk keesokan harinya.
Sore hari, tak pernah sekali juga aku datang terlambat, takut engkau terlewat dan tak mendapati alis tegasmu yang memberi janji. Senyum manismu padaku yang membuncahkan gejolak dada. Dan buku-buku jemarimu yang kuat mencengkeram perasaanku hingga menjadi tak jelas. Kau datang, dan kemudian pergi. Memesan satu mangkuk serabi, lalu memakannya dengan sangat lama. Dan aku jelas sadar betul bahwa sedari kau makan, kau tak pernah mengalihkan pandanganmu selain dari aku. Sesekali aku pun memandangmu, kau menyunggingkan senyum yang meruntuhkan benteng pertahananku, lalu aku menyerah dengan senyum yang sama. Dari situlah, cinta itu menyambut untuk ditumbuhkan oleh kita berdua.
Dan sore ini, adalah sore yang sama. Aku tak mampu beralih dari wajahmu yang kali ini memakan serabi dengan lahap, tak seperti biasanya.
“Hemm, enaknya… satu lagi ya… hari ini aku kerja berat, jadi lapar bukan main”, deg. Jantungku berlarian kocar-kacir tak karuan, sore ini meskipun tetap sore yang sama, tapi sore inilah kali pertama aku mendengar suaramu yang lembut namun tegas dan mengecambahkan biji cinta yang tak sengaja tertanam. Aku memberimu senyum, seraya menyerahkan semangkuk serabi untukmu. Kau membalas senyumku dengan sangat manis. Aku terkesima. Ah, aku selalu terkesima.
 Kali ini kau menghabiskan serabimu dengan pelan. Aku duduk diam memandangi jalan raya yang entah kenapa tiba-tiba menjadi lengang. Di seberang aku lihat gunung ungaran sedang bekerja sama dengan awan-awan kemerahan untuk menciptakan langit yang indah di antara rintik hujan ini. Sungguh indah, aku memandangnya dengan takjub, dan yang membuatku merasa semakin puas memandangnya adalah karena aku bersamamu di sini.
“Kamu cantik”, ucapmu tiba-tiba. Jantungku tak lagi terkendali. Kau meletakkan tanganmu di atas punggung tanganku. Angin dingin tiba-tiba berhembus mendirikan bulu kudukku, aku menggigil di sekujur tubuh, kecuali punggung tanganku yang terasa begitu hangat. Kau tersenyum, aku pun begitu. Namun seketika ekspresi wajahku berubah saat kau singkirkan tangamu dariku. Sejenak kemudian kau serahkan uang sepuluh ribuan padaku, aku menerimanya, lalu memberikan kembalian dua ribu rupiah. Sontak kau menggenggamkan kembali uang dua ribuan itu ke tanganku seraya tersenyum, entah genggaman untuk menolak kembalian atau genggaman untuk mendesirkan hatimu dan hatiku. Lama kau menggenggam tanganku tak lepas, darahku seperti mengalir ke bawah dengan deras bagaikan air terjun. Terus mengalir dari kepala menuju pergelangan tangan.
“Mbak serabinya satu porsi dibungkus ya”, suara seorang bapak tua mengagetkan kita. Kau lepas tanganku dan pergi. Dan matamu berjanji, untuk datang lagi esok sore.
***
Sore ini, adalah sore yang sama. Saat aku kembali duduk di balik daganganku, hanya untuk menantimu. Satu jam aku termangu. Dan kau datang dengan motor besarmu. Aku tersenyum. Kau pun tersenyum dengan indahnya. Kau duduk di lesehan warungku, aku menyajikan untukmu semangkuk serabi tanpa banyak berkata-kata. Lalu kau mengambil mangkuk itu dariku, dan dengan sengaja menyentuhkan telapak tanganmu ke telapak tanganku yang sedang memegang mangkuk. Kau makan dengan pelan, pasti kali ini kau tidak bekerja berat lagi, aku membatin. Titik air mata tiba-tiba membasahi pipimu. Aku tersentak, dan dengan refleks aku mengusap air mata itu dari pipimu dengan jemariku yang lentik. Kau tersenyum, namun tetap mengeluarkan air mata. Kau meletakkan mangkuk serabimu di sampingku, tanganmu berpindah ke tanganku yang sedari tadi bertengger di pipimu. Kau menggenggamnya dengan kuat, melepaskan dari pipimu dan menarik tanganku ke bibirmu. Sore ini adalah sore yang sama, namun lebih indah, karena ini adalah kali pertama punggung tanganku dicium olehmu.
Lama sekali, kau masih menggenggam tanganku. Erat. Sangat. Hatiku semakin menjadi-jadi. Sejenak kemudian, kau memakaikan sebuah cincin berwarna keperakan yang sangat indah, ke dalam lingkaran jari manis kananku. Lalu pergi tanpa menghabiskan serabimu. Aku tahu, bahwa itu tanda kau mencintaiku, dan memintaku menunggumu. Aku pun menangis melihat punggungmu yang semakin mengecil di kejauhan.
***
Sore ini adalah sore yang sama, saat rintik hujan telah hilang berganti pelangi yang menghias gunung ungaran. Saat puluhan truk dan kendaraan bermotor berlomba-lomba membunyikan klakson tanda tak sabar. Dunia telah berubah, jalanan kini menjadi semakin penuh, cuaca semakin panas jika siang, dan malam begitu dingin namun gerah. Langit juga tak lagi banyak bintang. Namun bagiku, sore ini adalah sore yang sama, saat aku masih saja menunggumu yang telah lama tak datang. 10 tahun belakangan ini, hatiku gundah menantimu. Cincin darimu masih terpasang di jari manis kananku, berharap suatu saat kau datang menjemputku. Namun, sepuluh tahun kau tak datang, menyisakan kerinduan mendalam untukku.
IMG_20121231_165708[1]
Aku terus meratapimu, meski hari demi hari, telah berlalu dengan sesuka hati, pembeli datang dan pergi, berharap dirimu adalah salah satu dari pembeli itu. Namun kau tak jua ada. Aku semakin tak kuat menahan. Sering aku menangis sendirian di malam yang larut, masih di balik daganganku. Dan aku masih terpancang di warung kursi serabi ngampinku pagi, siang, sore, dan malam, memikirkan sejuta kemungkinan jika kau datang di waktu yang berbeda.  Dan selama itu, entah berapa lamaran pemuda yang aku tolak demi menunggumu, kini aku sudah terlalu tua untuk dilamar orang, maupun untuk mencintai orang. Hanya cinta darimu yang kini sudah tumbuh setinggi langit. Aku merawat dan menjaganya.
Sore ini adalah sore yang sama, saat mobil-mobil berhenti berjajar karena macet, di jalan raya depan warungku. Saat gunung ungaran telah tak nampak lagi, karena polusi yang kini memnuhi rongga udara. Saat akhirnya aku mulai mempertanyakan, cincin perak yang melingkar di jariku ini, apakah ini cincin isyarat untuk menunggu, atau isyarat untuk berpisah. Aku mulai lelah menunggumu, kau jahat, aku mulai benci padamu, kau tak pernah datang lagi dan membiarkan aku sendirian berharap kau datang.
Lamunanku dibuyarkan oleh sebuah mobil hitam yang terparkir di depan warungku. Aku melihat mobil itu sedari tadi berhenti di tengah jalan karena tak bisa menembus macet, lalu akhirnya pemilik mobil memutuskan untuk berbelok ke warungku, pasti ia bosan bersaing dengan truk dan bus-bus. Seorang wanita keluar dari pintu mobil, diikuti dua orang anak usia sekitar lima dan delapan tahun, keduanya laki-laki.
“Empat ya bu”, ujar wanita itu padaku.
“Dibungkus atau dimakan di sini bu?”
“Dimakan di sini”,  lalu sang wanita cantik itu duduk di warungku.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki keluar dari bangku setir. Memakai jas hitam, dan kemeja dibaliknya sangat rapi.
“Duduk sini pa”, wanita itu berteriak kepada lelaki itu. Aku menyajikan empat mangkuk serabi seraya melirik kepada lelaki itu.
Dan aku menyesal telah melirik. Hatiku hancur, seperti karang tua yang terus menerus diguyur ombak dengan keras selama bertahun-tahun, akhirnya datanglah ombak paling besar yang meruntuhkan karang itu. Kini karang itu luluh lantak tak berbentuk. Kini sang karang telah menyesal karena membiarkan ombak mengguyurnya selama bertahun-tahun. Kini sang karang menyesal karena ia masih terus menunggu ombak reda tanpa melakukan perlawanan apapun.
Hatiku menangis, pelupuk mataku menghangat tak tertahan, lelaki itu adalah dirimu. Bersama istri dan anakmu. Aku benar, kau jahat. Atau aku yang bodoh, harusnya aku tahu air matamu sepuluh tahun yang lalu, cincin perakmu sepuluh tahun yang lalu, adalah tanda perpisahan kita.
Kau melihatku, sedikit tersentak. kenapa kau kaget melihat aku, tidakkah kau sadar aku menunggumu selama itu. Kau mengalihkan pandanganmu kepada anak-anak dan istrimu. Mengambil semangkuk serabi dari tangan istrimu yang halus. Memakannya dengan lahap. Aku dapat melihat matamu berkaca-kaca. Kau menangis. Pasti menangisiku. Apakah tangis itu pertanda kau masih mencintai aku? Aku tak boleh asal mengartikan lagi. Aku tetap tak mampu mencintai orang lain selain dirimu. Tapi aku harus sadar betul kau telah memilih meninggalkanku. Dan aku juga telah memilih untuk… menunggumu. Lagi. Sampai kapan pun itu. Meski kau tak kembali, aku tetap menunggumu. Di balik tumpukan serabi ngampin, khas ambarawa.
 j0hto


KERETA

Aku selalu suka kereta. Dulu ketika aku kecil, aku suka melihatnya lewat dengan cepat  di perempatan perlintasan kereta dekat rumahku. Ya, aku mengagumi kereta. Ayah dan ibulah yang membuatku mengaguminya, entah kenapa. Dahulu, ketika kakiku belum mampu menapak bumi, sengaja ayah atau pun ibu membawaku ke perempatan perlintasan kereta. Berbagai macam tujuannya. Kadang kala ibu ingin meningkatkaan nafsu makanku –karena melihat kereta lewat membuat aku lebih banyak menelan sarapan dan makan siangku-, kadang kala untuk menghentikan tangisku yang melengking, kadang kala hanya untuk melambaikan tangan mengantar kepergiannya.
Dan begitulah seterusnya, hingga tibalah aku pada tahun ketujuh hidupku di dunia. Kebiasaan itu mulai menghilang seiring  munculnya berbagai pertanyaan di otakku, kenapa kita melambai pada kereta sementara kereta tak pernah memedulikan kita, kepada siapa sebenarnya kita melambai, dan sebuah pertanyaan titik balik yang berbunyi apa bagusnya melihat kereta lewat, sementara ia hanya berupa jajaran gerbong yang disusun. Tak pernah kutemukan jawaban itu, namun aku masih menyukai kereta. Hingga kini, Hingga aku telah menginjak kepala dua.
Sama seperti dulu, aku tetap menyukai kereta, bagaimana pun ia. Namun, satu hal yang membedakan : aku tak lagi suka melihatnya lewat, tapi kini aku suka menaikinya. Seperti sekarang, aku duduk di atas kursi bernomor 23 A. Mataku terpancang pada bangunan tua stasiun yana rasa-rasanya sudah harus pensiun. Tak lagi layak disebut stasiun. Aku hendak pergi ke Jakarta. Kemana? Entah. Aku hanya ingin naik kereta saja. Aku selalu menyukainya. Aku suka melihat pepohonan berlarian ke belakang ketika aku berada di dalam kereta yang berjalan. Aku suka melihat motor dan mobil berhenti di balik palang perlintasan kereta api, demi memberi waktu kereta tumpanganku untuk lewat –serasa raja yang diangkut tandu-. Aku suka melihat halaman belakang rumah-rumah orang yang kami lewati. Dan aku suka melihat pemandangan yang tak dapat aku lihat dari jalan raya.
Lima belas menit aku termangu, hingga akhirnya kudengar bunyi yang khas, tanda kereta hendak melaju. Aku menyiapkan mataku untuk melongok ke jendela. Kursi sebelahku kosong, aku bebas melakukan apapun. Dan ini membuatku semakin suka naik kereta.
Hari ini aku pergi untuk ayah. Tepatnya untuk menghindari ayah, untuk kabur dari ayah, untuk menunjukkan kepada ayah bahwa aku mampu melakukan apa yang aku inginkan dan tak perlu selalu menuruti semua perkataannya. Ayah harus tahu, bahwa aku bukan lagi anak kecil yang bisa dengan mudah mengangkat tangan dan menggerakkannya ke kanan kiri, ketika ia menyuruhku melambai pada kereta. Aku sudah bilang pada ayah, jangan paksa aku menjadi arsitek. Aku ingin kuliah seni. Dan tidakkah ia lihat? bahwa aku telah diterima di Institut Seni Indonesia, sesuai dengan cita-citaku sejak kecil. Tidakkah ia lihat? Bahwa aku telah mencoba untuk mengikuti kehendaknya dengan mendaftarkan diri pada jurusan arsitek –namun tetap aku tidak lolos ujian-. Tidakkah ia lihat bakatku ini?. Sekarang aku terombang-ambing tak bisa kuliah karen ayah tak mau lagi membiayaiku. Hanya karena aku tidak kuliah di jurusan arsitek. Aku benci ayah. Ayah selalu memaksakan kehendaknya. Aku benci ayah. Aku benci ayah.
Keretaku mulai melewati kali-kali kecil di tepi sawah. Hijau membentang, rerumputan bakal padi ditata berjajar dengan cantiknya, menjadi hamparan hijau yang luas membentang. Aku menarik nafas dalam-dalam, meghirup alam kebebasan. Tanpa ayah.
Tak lama berselang, keretaku berhenti di sebuah stasiun kecil. Di balik jendela, kulihat puluhan orang berlarian menyerbu memasuki gerbong demi gerbong. Gerbong yang kududuki mulai dipenuhi semakin banyak orang, termasuk lelaki itu. rambutnya tebal namun berwarna putih, ia telah begitu tua. Namun bandanya tegap, masih segar dan sehat kenampakannya. Jika saja rambut putih dan beberapa keriput tidak bertengger, pantaslah ia menjadi guru olah raga.
Ia duduk di sampingku, memberiku sebuah senyum yang kubalas dengan senyum pula seadanya. Sejujurnya aku sedang malas untuk tersenyum.
“Mau kemana nak?”
“Jakarta Pak?”
“Ow, sama kalau begitu”,
Ya iyalah, kita naik kereta yang sama, batinku.
“Saya dari klaten, datang ke Surabaya, ke rumah saudara”, ia memulai pembicaraan. “Sekarang saya mau ke Jakarta ke tempat sepupu”
Aku hanya diam, sedikit mengangguk, tanda sopan.
“Capek sekali rasanya. Badan sudah tua, tulang sudah rapuh. Tapi saya sudah terlanjur janji mau datang ke rumah sepupu saya di Jakarta. Nanti saya akan di jemput di Stasiun Gambir. Kabarnya, sepupu saya itu akan mengajak saya ke Monas juga. Hahaha. Sudah pernah ke monas?”
Aku menggeleng.
“Ah, kamu harus datang ke monas. Nanti ketika keluar dari stasiun, kamu akan melihat monas menjulang menantang langit”
Aku tersenyum sopan. Lalu menolehkan pandangan ke jendela. Berharap ia tak mengajakku bicara lagi. Aku ingin menikmati perjalanan keretaku sendiri.
“Nak”, ah… ia memanggilku lagi, terpaksa aku menoleh.
“Pemandangan di balik jendela kereta selalu mengagumkan ya? Saya juga menyukainya. Sejak kecil. Saya sejak kecil selalu diajak ayah saya menaiki kereta. Menyenangkan sekali rasanya bisa berada di dalam kereta dan melihat anak kecil lain seusia saya melambaikan tangan pada saya, meskipun mereka tidak kenal saya. Walaupun mungkin mereka sebenarnya tak bermaksud memberikan lambaian tangan pada saya, tapi saya senang mereka melambaikan tangannya. Padahal saya tahu, mereka itu hanya melakukan ritual kereta saja”
Aku menoleh dengan wajah bertanya-tanya.
“Iya, ritual kereta”, ia menjawab seakan ia tahu maksudku, “tahu kan? Ritual yang dilakukan oleh anak-anak kecil, yaitu melambai pada kereta yang lewat. Meskipun mereka tidak tahu kepada siapa sebenarnya mereka melambai, hahahaha”
“Omong-omong, saya sebenarnya lebih suka naik kereta ekonomi daripada bisnis. Kalau kereta berhenti, kadang saya penasaran saya sudah tiba di kota mana, kalau posisi saya dekat jendela sih gampang, bisa melongok dan mencari tulisan nama kota, itu pun kalau ada tulisan. Tapi kalau posisi saya jauh dari jendela kan susah. Nah, kalau naik kereta ekonomi, kita tidak usah melongok ke jendela, kita sudah tahu berada dimana. Kalau ada pedagang yang masuk kereta dan berteriak lanting lanting lanting, berarti kita sudah sampai Cilacap. Nah, kalau ada pedagang udang goreng, berarti kita sudah sampai Cirebon. Kalau sudah banyak pedagang nasi uduk, sampailah kita di Jakarta. Hahahaha. Begitu kan? Hahaha”
Aku ikut tertawa sedikit.  
“Dari cara kamu melihat ke jendela, kamu sepertinya suka naik kereta juga?”
Aku mengangguk.
“Hahaha, dan waktu kecil pasti suka melakukan ritual kereta. Hahaha. Kamu seperti anakku. Hahahaha. Dimana ya anakku sekarang. Kangen”
Ia berhenti tanpa suara. Memangnya dimana anakmu pak? Bagaimana bisa seorang ayah tidak tahu keberadaan anaknya. Ayah macam apa…, batinku.
“Yah, bagaimana aku bisa tahu dimana dia berada. Dia kabur dari rumah”, aku tersentak. Seolah ia bisa membaca pikiranku. Dan sekaligus menyindirku.
“Dia kabur cuma karena masalah sepele. Komunikasi. Komunikasi itu sederhana tetapi sangat berpengaruh. Hahaha. Semoga dia dalam keadaan sehat. Saya ke Jakarta juga sekaligus berharap bisa bertemu dengan dia. Kalau saya tebak, dia pasti kabur ke Jakarta. Sudah setahun. Hahaha. Dan saya masih juga sering menitikkan air mata kalau ingat dia”
Benar. Ia berkaca-kaca.
“Saya bertengkar hebat dengan dia, hanya karena saya memintanya untuk bekerja di perusahaan yang saya rintis. Menggantikan saya yang sudah tua, habis mau bagaimana lagi. saya sudah tua, siapa yang akan menggantikan saya. Kalau perusahaan saya tidak diurus, bisa kacau keadaan ekonomi keluarga kami”, Bapak itu mengambil nafas.
“Yah, anak muda dan cita-cita mereka. saya juga pernah muda, dan pernah idealis juga. Saya mengerti anak saya punya keinginan. Dia ingin kuliah di jurusan arsitek. Saya melarangnya”
Deg. Jantungku. Kebetulan macam apa ini.
“Saya ingin dia meneruskan perusahaan. tapi dia tidak menangkap maksud saya. Saya hanya ingin perusahaan itu diteruskan degan baik, sedikit saja belajar dan tinggal jalankan saja. Ketika dia nanti jadi pemimpin, bisa saja urusan itu ia serahkan kepada anak buahnya. Sesekali bisa ia sekedar mengecek ke kantor. Kalau sudah tidak sibuk, baru kuliah. Kan laki-laki itu modalnya mapan. Yah bukannya berpatok pada harta, tapi setiap orang tua yang punya anak wanita pasti lebih ayem tentrem kalau menyerahkan anak wanitanya kepada lelaki yang sudah mapan. Saya ndak mau anak saya itu seperti saya. Sudah usia sangat tua, baru bisa menikah. Saya menikah di usia 35 tahun, karena tidak punya modal”
“Saya cuma ingin yang terbaik untuk anak saya. Saya kan sudah tua, lebih lama hidup di dunia, sudah pernah merasakan tidak enaknya. Saya cuma tidak mau anak saya merasakan apa yang saya rasakan”
Apakah ayah juga begitu, batinku.
“Ya tentu saja setiap ayah menginginkan yang terbaik buat anaknya”
Deg. Jantungku lagi. gawat. Aku tidak boleh membatin lagi, dia bisa baca pikiranku.
“Hanya saja, setiap ayah punya cara sendiri-sendiri”
Benarkah itu?
“Pasti setiap ayah begitu. Tidak hanya saya. Kamu mau pergi kuliah ke Jakarta?”
“Merantau Pak”
“Sudah pamit ayahmu kan?”
Aku diam. Lurus ke depan. Menerawang.
“Kamu anak yang berkemauan keras, sampai merantau ke Jakarta. Pasti ayahmu mendidikmu dengan baik. Ayahmu bekerja dimana?”
“Biro arsitek”
“Wah sudah sukses kah?”
“Sudah punya biro sendiri Pak”
“Wah, sudah adakah penerus ayahmu?”
Aku menggeleng. Bapak itu merubah raut wajahnya.
“Ayahmu hanya harus berusaha lebih keras untuk mengghidupi keluargamu. Suatu saat, jika kamu sudah sukses menjadi apa yang kamu mau. Kabari ayahmu ya… tersiksa sekali rasanya jadi ayah yang ditinggal anaknya tidak tahu kemana. Padahal anak adalah satu-satunya hal yang bisa dibanggakan oleh seorang ayah. Saya mau tidur dulu ya, capek. Hahaha”
Bapak tua memejamkan mata. Begitu pula aku.
***
Stasiun Gambir. Aku mengerjapkan mata. Memandang pagi yang masih sedikit redup. Kulihat Monas menusuk langit yang hendak benderang. Aku duduk terdiam. Lama. Jakarta, sudah tiba aku di tanah perantauan ini. lalu hendak kemana? Bagaimana caranya agar aku bisa menjadi pemain biola professional? Ngamen di Jakarta? Ah!
Aku hanya duduk memandangi Monas. Kulihat sang bapak tua telah bersama dengan dua orang suami istri, rambutnya sudah putih semua pula. Tiba-tiba aku teringat kata-kata ayah waktu aku kecil, Kalau kamu sudah besar, jadilah anak yang kuat. Dan jadilah kebanggaan ayah. Maafkan ayah jika suatu saat ayah khilaf dan tak mau mendengarkan kekuatanmu. Beritahukan dengan baik pada ayah tentang kekuatanmu. Jangan kau simpulkan sendiri ya nak. Karena ayah tak terlalu pandai mengungkapkan rasa sayang ayah yang mebuncah ini. kata-kata itu Ia ucapkan saat aku masih berusia enam tahun, tapi aku masih mengingat detailnya. Jadilah anak yang kuat. Ya, inilah kekuatanku. Aku telah memutuskan pergi ke Jakarta dengan kekuatanku itu. Lalu terngiang olehku kata-kata si bapak tua, komunikasi. Lalu teringat pula aku kata-kata ayah lagi, Beritahukan dengan baik pada ayah tentang kekuatanmu. Karena ayah tak terlalu pandai mengungkapkan rasa sayang ayah yang mebuncah ini.

Dari jauh, bapak tua melambai padaku. Aku membalas dengan anggukan sopan. Aku beridiri beranjak dari tempatku termangu. Aku menuju loket pembelian tiket. Jam berapapun itu, harus kudapatkan tiket kembali pulang ke Surabaya. Untuk sebuah komunikasi.